Setelah
sekian lama belanda dan voc mengeruk keuntungan yang sangat banyak dari tanah
jajahanya Hindia Belanda, pada 1901 negeri Induk yaitu belanda di bawah ratu Wilhelmina
yang baru naik tahta mengumumkan politik etis atau politik balas budi kepada
wilayah jajahanya yaitu hindia belanda.
Pemberlakukan
politik etis tidaklah berlangsung tanpa adanya latar belakang yang memulainya. Alasan
pertama sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat. Hal ini dikarenakan
tanaman dari sistem tanam paksa adalah tanaman komoditas yang laku di jual di
eropa, selain itu sistem liberal yang masuk ke wilayah nusantara membuat
kesengsaraan rakyat semakin bertambah hal ini disebabkan pihak swasta menyewa
tanah dengan kurun waktu yang lama dan menyengsarakan rakyat.
Sistem tanam
paksa dan sistem liberal yang diterapakan membawa dampak buruk seprerti
kelaparan yang diderita oleh rakyat bumiputra. Sehingga munculkan pergerakan di
kerajaan belanda oleh para humanis. Desakan demi desakan yang di lontarkan oleh
kaum humanis Belanda lah yang memaksa pemerintah Belanda menjalankan politik
etis. Kaum humanis dan rakyat belanda mulai tercerahkan setelah mereka melihat
kenyataan yang begitu mengerikan yang telah di alami oleh rakyat hindia
belanda. Lewat berita di media masa dan tentu saja bukunya Douwes Dekker dengan
nama pena multatuli yang berjudul max havelar, masyarakat belanda mengetahui
ketimpangan yang terjadi antara negeri induk dan negri koloni.
Ada
tiga poin utama dalam penerapan politik etis, pertama pendidikan, irigasi dan
transmigrasi. Ketiga poin tersebut memberikan dampak positf bagi pemerintah
kolinial hindia belanda. Dari sector pendidikan, tumbuhnya kalangan terdidik
dari rakyat bumiputra bermanfaat bagi pemerintah kolonial sebagai tenaga ahli
dalam membantu tugas pemerintahan. di bidang irigasi, pengairan yang cukup
membuat lahan pertanian atau perkebunan milik pengusaha swasta menjadi lebih
baik sehingga menghasilkan hasil panen yang berkualitas. Sedang di sector transmigrasi,
memimdahkan penduduk jawa yang terlalu padat ke daerah lain yang masih kosong
untuk di tinggali dan mengolah lahan tersebut sebagai lahan pertanian atau
perkebunan.
Politik etis
yang diterapkan oleh pemerintah belanda kepada tanah jajahanya di hindia
belanda seperti pedang bermata dua, ketika pedang bermata dua digunakan dengan
ceroboh bisa menjadi senjata yang melukai pemiliknya. Di satu sisi penerapan
politik etis membawa keuntungan bagi pemerintah kolonial seperti pembukaan
lahan baru untuk perkebunan atau pertanian, namun juga membawa dampak yang
tidak di sangka oleh pemerintah kolonial seperti munculnya kaum terpelajar yang
melawan pemerintah kolonial.
Pendidikan
yang menjadi program politik etis memunculkan banyak kaum terpelajar dari
bumiputra, Seperti soekarno, hatta, syahrir, ki hajar dewantoro dll. Kemunculan
kaum terpelajar ini menjadi gelombang besar perlawanan rakyat bumi putra terhadap
pemerintah kolonial. Kaum terpelajar yang telah tercerahkan oleh ilmu
pengetahuan dari eropa mulai memiliki pemikiran krtis atas nasib bangsanya yang
selama beberapa abad dimonopoli dan dikuasi kolonialisme.
Kesadaran
akan penindasan maupun diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
membuat kaum terpelajar bumiputra sadar akan pentingnya semangat kesatuan antar
sesama rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Masyarakat
yang terpelajar memiliki pemikiran yang maju dan memiliki jiwa nasionalisme,
mereka mulai berfikir untuk menjadi bangsa yang mampu berdiri diatas kaki
sendiri tanpa di kuasai oleh bangsa asing. Cita-cita untuk merdeka inilah yang
banyak membawa kaum terpelajar bumiputra mendapatkan pengawasan oleh pemerintah
kolonial atas aktifitas politiknya yang meresahkan.
Seperti
yang terjadi pada kaum terpelajar yang menentang dan mengkritisi pemerintah
kolonial pada akhirnya mereka mendapat hukuman berupa pengasingan dan
pembuangan agar tidak melakukan propaganda kepada rakyat bumiputra untuk
melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial.
Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya kaum terpelajar bumi putra yang telah mendapat
pendidikan eropa menjadi kriitis terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan
pemerintah kolonial. Salah satu contohnya adalah tulisan ki hajar dewantoro
pada surat kabar de expres yang
berjudul “jika aku seorang belanda” tulisan itu mengkritik pemerintah kolonial
ketika mereka menarik upeti rakyat untuk melakukan perayaan atas 100 tahunnya
kemerdekaan belanda dari prancis.
Puncak dari
perlawanan para terpelajar bumi putra adalah ketika pembacaan proklasimasi
kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidak akan
bisa di capai apabila rakyat bumi putra tidak tercerahkan oleh pendidikan
modern dan semangat untuk berdiri dengan kaki sendiri dan berdaulat atas diri
beserta tanah kelahiranya.
No comments:
Post a Comment