Orde
baru memiliki berbagai macam cara untuk membangun legitimasinya sebagai penguasa
yang memiliki peran besar dalam memajukan, menjaga dan merawat Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Hampir segala macam media di manfaatkan orde baru untuk disebarkan
kemasyarakat akan mahsyurnya orde baru. Salah
satu media yang pernah digunakan untuk membangun legitimasinaya adalah komik, Komik
tersebut berjudul Merebut Kota Perjuangan.
Komik Merebut
Kota Perjuangan merupakan garapan dari komikus Hasmi, Wind NS dan tim. Hasmi dan
Wind NS merupakan komikus kenamaan pada pada era 1970. Salah satu komik
terpopuler karya Hasmi adalah Gundala Putra Petir yang mengawali debutnya pada
tahun 1969. Kepopuleran dari komik Gundala Putra Petir membuatnya diangakat ke
layar lebar pada 1981 dan di remake kembali pada 2019 oleh sutradara kenamaan
Joko Anwar.
Banyak
penelitian-penelitian akademis pada era reformasi yang menganggap penerbitan
komik Merebut Kota Perjuangan penuh dengan kepentingan dan syarat akan politik.
Di era reformasi anggapan negatif selalu teralamatkan ke orde baru, seolah-olah
kebijkan-kebijakan yang dibuat hanya untuk menutupi kebusukan rezim. Ulasan-ulasan/tulisan
banyak mengarah keburukan rezim orde baru sebagai pengusa yang otoriter berterbangan
di media massa baik online maupun offline. Berikut akan diuraikan secara umum
penggambaran orde baru oleh penulis di era reformasi.
Komik Merebut Kota Perjuangan terbit pada
1984, di terbitkan di bawah rezim orde baru imbas dari krisis minyak mulai dari
penerimaan migas yang mengalami penurunan, serta anggaran Negara mengalami defisit.
Komik Merebut Kota Perjuangan mengambil latar Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta. Komik tersebut di tulis berdasarkan fakta sejarah, artinya setiap
adegan dalam komik di tulis seakurat mungkin berdasarkan saksi-saksi sejarah.
Komik Merebut Kota Perjuangan menonjolkan
Letnan Kolonel Soeharto sebagai tokoh utama (sentralisasi pada 1 tokoh). Hal ini
nampak pada pengurangan kehadiran tokoh-tokoh penting lainya dalam peristiwa Serangan
umum 1 maret. Sebut saja Sebut saja
Kolonel Bambang yang secara kemiletaran merupakan atasan Letkol Soeharto.
Namun, dalam serang umum 1 maret tersebut peranan dari Kolonel Bambang tidak
begitu nampak, padahal seharusnya sebagai pemimpin jelaslah beliau punya andil
besar dalam oprasi serangan 1 maret tersebut.
Selain Kolonel Bambang yang mengalami
pengurangan kontribusi terdapat pula tokoh lain yang juga mengalami
pengkerdilan peran dalam komik tersebut. Tokoh itu adalah Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, padahal Sri Sultan merupakan salah satu tokoh yang disinyalir
sebagai pemrakarsa dalam serangan umum 1 maret.
Sentralisasi atau penokohan utama Letnan
Kolonel Soehrto serta pengkerdilan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting
dalam Serangan Umum 1 Maret, menjadikan para peneliti dan para akedemisi banyak
berspekulasi kalau komik Merebut Kota Perjuangan syarat akan unsur politik dan
pencitraan rezim Orde Baru.
Sebenarnya para peneliti dan akademisi
tersebut tidaklah salah karena mereka mempunyai teori dan argument masing-masing
untuk membenarkan penelitian mereka. Namun ada yang perlu dingat bahwa komik
merupakan produk seni. Lebih spesifiknya adalah seni bercerita dengan panduan
gambar. Sebuah komik memiliki kemiripan dengan dongeng, novel atau karya sastra
lainya. Artinya sebuah komik perlu memiliki tokoh utama.
Maka bisa di ambil kesimpulan kalau sebuah
komik menonjolkan individu sebagai tokoh utama. Jika dalam komik terlalu banyak
tokoh sentral (utama), ceritanya tidak akan menarik dan cenderung memecah
konsentrasi pembaca dalam mengidentifikasi tokoh utama. Maka adalah hal wajar
jika Letnan Kolonel Soeharto dijadikan tokoh utama dalam komik Merebut Kota
Perjuangan mengingat komik tersebut proyek dari orde baru.
Pengurangan peran Seperti Kolonel Bambang
Sugeng serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX bukan untuk menghilangkan kedua tokoh
tersebut. Pembuatan komik Mererbut Kota Perjuagan lebih dilihat dari sudut pandang
Letnan Kolonel Soeharto sebagai tokoh utama. Hal ini akan berlaku sebaliknya, jika
yang menjadi tokoh utama Kolonel Bambang Sugeng, maka porsi Letnan Kolonel
Soeharto juga akan sedikit dan mungkin bisa jadi tidak ada sama sekali.
Terlepas benar atau tidaknya komik Merebut
Kota Perjuagnan syarat akan unsur politik dan pencitraan rezim orde baru, komik
tetaplah komik dimana dia merupakan sebuah karya seni yang berisi perjalanan
seorang individu sebagai tokoh utama.
No comments:
Post a Comment