Hampir tiga
seper empat abad Indonesia memproklamasikan diri sebagai Negara yang merdeka
lepas dari belenggu kolonial yang telah mencengkramnya berabad-abad lamanya. Namun
apakah kita sebagai bangsa Indonesia telah lepas dari pengaruh-pengaruh
kolonial?. Saya rasa tidak, bangsa ini sekalipun telah mengusir bangsa Belanda
dari bumi Nusantara, masyarakatnya masih mewarisi mental kolonial.
Kita bisa
melihat dari tindakan pemerintah dan bawahanya aparat keamanan yang masih
mewarisi ciri dari kolonialisme (presekusi terhadap buku dan pembacanya). Menangkap
dan presekusi terhadap buku dan pembaca sama persis seprti yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Dalihnya pun sama mereka yang membaca buku diangap sebagai
orang kriminal yang membahayakan kedaulatan Negara.
Walaupun memang
tidak semua buku dan pembacanya ditangkap, hanya sebagian saja yang diangap
bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan saja yang ditangkap. Ironis memang
di Negara yang telah meredeka dari semua bentuk kolonialisme dan imperialisme
masih ada aparat keamanan yang menangkap dan merazia buku dan pembacanya hanya
karena diangap bertentangan dengan ideologi Negara.
Pemikiran para
aparat keamanan inilah yang masih tebelakang jauh seperti para kolonialis,
pemikiran yang tidak mau dikritik, sebuah pemikiran yang mengaggap bahwa
pemikiran yang berbeda dari paham arus utama sebagai ancaman terhadap
kedaulatan Negara. Mengapa saya mengatakan para aparat keamanan yang menyita
buku dan menangkap pembacanya sebagai masyarakat bermental kolonial, mari kita
selama sejarah pergerakan di Indonesia.
Ketika masa
pergerakan banyak tokoh-tokoh dari pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Eropa
mulai berani mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda, contoh pertama
Soewardi Soerjanigrat atau dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Soewardi
Seorjaningrat merupakan seorang aktifis pergerakan, kolumnis, politisi, dan
merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi.
Soewardi
Soerjanigrat terkenal krtis dan vokal dalam menyampaikan aspirasinya terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Beliau tidak sendirian bersama kedua temanya
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker mereka dikenal sebagai “Tiga
Serangkai”. Sebagai seorang politisi serta kolumnis beliau (Soewandi) sering
menerbitkan tulisanya dalam koran. Salah satu tulisanya yang membuat pemerintah
Hindia Belanda merasa tersinggung dana marah adalah “Als Ik een Nederlander was” yang artinya Seandainya Aku Seorang
Belanda.
Akibat tulisanya
tersebut Soewandi Soerjangirat atas perintah dari Gubernur Jendaral Idenberg di
asingkan ke pulau Bangka (atas permintaan dari Soewandi sendiri). Kedua temanya
yaitu Dowes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo mempprotes pemerintah HIndia Belanda
atas hukuman yang diberikan kepada Soewandi. Akibat dari protes tersebut ketiga
orang tersebut (Tiga Serangkai) di asingkan Ke negeri Belanda.
Contoh ke dua
pengasingan terhadap Moh. Hatta oleh pemerintah Hindia Belanda. Setibanya Hatta
dari pendidikan di Belanda, beliau yang memang pada dasarnya telah banyak
berkecimpung di dunia organisasi politik semasa kuliah di Belanda kian aktif berpolitik
di Indonesia. Bersma syahrir, Hatta mendirikan partai baru dengan nama
Pendidikan Nasional baru atau disebut dengan PNI-Baru.
PNI-Baru yang
merupakan parti bentukan Hatta dan Syahrir dianggap lebih radikal, serta
revolusioner sangat berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Sehingga pemerintah
Hindia Belanda menangkap Hatta dan Syahrir yang merupakan pemimpin dari partai
tersebut.
Hatta pada
awalnya di penjara Glodok sedangkan Syahrir di tempatkan di penjara Cipinang. Tidak
beselang lama mereka berdua di pindahkan dan diasingkan ke Boven Digul. Boven
Digul merupakan kawasan plosok pedalaman Papua. Pemerintah kolonial yang
mendapat kecaman dari Belanda karena mengasingkan lulusan dari Belanda memindahkan
Hatta dan Syahrir ke Banda Neira, yang merupakan ibu kota Kepulauan Banda,
Maluku.
Pemaparan contoh
di atas telah menunjukan bahwa pemerintah beserta aparatnya masih mewarisi
mental kolonial. Sebuah mental anti kritik, dimana ketika ada rakyat yang
mengkritk pemerintah yang berkuasa langsung ditangkap dengan dalih menyebarkan
provokasi kepada rakyat. Bahkan bisa di bilang apa yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial hindia Belanda terhadap para rakyat bumi putra yang
mengkritiknya bisa dikatakan lebih baik ketimbang apa yang dilakukan oleh
pemerintah dan aparat Negara Republik Indonesia.
Sebagai Negara yang
merdeka dimana Negara menjamin kemerdekaan warganya dalam menyampaikan
aspirasinya maka tidak sepantasnya pemerintah beserta aparatnya menagkap dan
memenjarakan rakyat yang kritis terhadapnya sebagai seorang kriminal. Kritik yang
dilontarkan merupakan bentuk kepedulian rakyat terhadap Negara. Jika rakyat
apatis dan tidak memiliki pemikiran kritis terhadap kejadian yang menimpa
negaranya, percayalah Negara tersebut telah mencapai kehancuran karena
rakyatnya tidak peduli lagi dengan yang terjadi pada negaranya.
No comments:
Post a Comment