Sosiologi, Sejarah, Budaya, Politik dan Kebangsaan

Tuesday, April 14, 2020

Buku dan Mental Kolonial


Hampir tiga seper empat abad Indonesia memproklamasikan diri sebagai Negara yang merdeka lepas dari belenggu kolonial yang telah mencengkramnya berabad-abad lamanya. Namun apakah kita sebagai bangsa Indonesia telah lepas dari pengaruh-pengaruh kolonial?. Saya rasa tidak, bangsa ini sekalipun telah mengusir bangsa Belanda dari bumi Nusantara, masyarakatnya masih mewarisi mental kolonial.
Kita bisa melihat dari tindakan pemerintah dan bawahanya aparat keamanan yang masih mewarisi ciri dari kolonialisme (presekusi terhadap buku dan pembacanya). Menangkap dan presekusi terhadap buku dan pembaca sama persis seprti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dalihnya pun sama mereka yang membaca buku diangap sebagai orang kriminal yang membahayakan kedaulatan Negara.
Walaupun memang tidak semua buku dan pembacanya ditangkap, hanya sebagian saja yang diangap bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan saja yang ditangkap. Ironis memang di Negara yang telah meredeka dari semua bentuk kolonialisme dan imperialisme masih ada aparat keamanan yang menangkap dan merazia buku dan pembacanya hanya karena diangap bertentangan dengan ideologi Negara.
Pemikiran para aparat keamanan inilah yang masih tebelakang jauh seperti para kolonialis, pemikiran yang tidak mau dikritik, sebuah pemikiran yang mengaggap bahwa pemikiran yang berbeda dari paham arus utama sebagai ancaman terhadap kedaulatan Negara. Mengapa saya mengatakan para aparat keamanan yang menyita buku dan menangkap pembacanya sebagai masyarakat bermental kolonial, mari kita selama sejarah pergerakan di Indonesia.
Ketika masa pergerakan banyak tokoh-tokoh dari pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Eropa mulai berani mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda, contoh pertama Soewardi Soerjanigrat atau dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Soewardi Seorjaningrat merupakan seorang aktifis pergerakan, kolumnis, politisi, dan merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi.
Soewardi Soerjanigrat terkenal krtis dan vokal dalam menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Beliau tidak sendirian bersama kedua temanya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker mereka dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Sebagai seorang politisi serta kolumnis beliau (Soewandi) sering menerbitkan tulisanya dalam koran. Salah satu tulisanya yang membuat pemerintah Hindia Belanda merasa tersinggung dana marah adalah “Als Ik een Nederlander was” yang artinya Seandainya Aku Seorang Belanda.
Akibat tulisanya tersebut Soewandi Soerjangirat atas perintah dari Gubernur Jendaral Idenberg di asingkan ke pulau Bangka (atas permintaan dari Soewandi sendiri). Kedua temanya yaitu Dowes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo mempprotes pemerintah HIndia Belanda atas hukuman yang diberikan kepada Soewandi. Akibat dari protes tersebut ketiga orang tersebut (Tiga Serangkai) di asingkan Ke negeri Belanda.
Contoh ke dua pengasingan terhadap Moh. Hatta oleh pemerintah Hindia Belanda. Setibanya Hatta dari pendidikan di Belanda, beliau yang memang pada dasarnya telah banyak berkecimpung di dunia organisasi politik semasa kuliah di Belanda kian aktif berpolitik di Indonesia. Bersma syahrir, Hatta mendirikan partai baru dengan nama Pendidikan Nasional baru atau disebut dengan PNI-Baru.
PNI-Baru yang merupakan parti bentukan Hatta dan Syahrir dianggap lebih radikal, serta revolusioner sangat berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Sehingga pemerintah Hindia Belanda menangkap Hatta dan Syahrir yang merupakan pemimpin dari partai tersebut.
Hatta pada awalnya di penjara Glodok sedangkan Syahrir di tempatkan di penjara Cipinang. Tidak beselang lama mereka berdua di pindahkan dan diasingkan ke Boven Digul. Boven Digul merupakan kawasan plosok pedalaman Papua. Pemerintah kolonial yang mendapat kecaman dari Belanda karena mengasingkan lulusan dari Belanda memindahkan Hatta dan Syahrir ke Banda Neira, yang merupakan ibu kota Kepulauan Banda, Maluku.
Pemaparan contoh di atas telah menunjukan bahwa pemerintah beserta aparatnya masih mewarisi mental kolonial. Sebuah mental anti kritik, dimana ketika ada rakyat yang mengkritk pemerintah yang berkuasa langsung ditangkap dengan dalih menyebarkan provokasi kepada rakyat. Bahkan bisa di bilang apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial hindia Belanda terhadap para rakyat bumi putra yang mengkritiknya bisa dikatakan lebih baik ketimbang apa yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat Negara Republik Indonesia.
Sebagai Negara yang merdeka dimana Negara menjamin kemerdekaan warganya dalam menyampaikan aspirasinya maka tidak sepantasnya pemerintah beserta aparatnya menagkap dan memenjarakan rakyat yang kritis terhadapnya sebagai seorang kriminal. Kritik yang dilontarkan merupakan bentuk kepedulian rakyat terhadap Negara. Jika rakyat apatis dan tidak memiliki pemikiran kritis terhadap kejadian yang menimpa negaranya, percayalah Negara tersebut telah mencapai kehancuran karena rakyatnya tidak peduli lagi dengan yang terjadi pada negaranya.

No comments:

Post a Comment