Norma,
moral, tata tertib dan konflik sosial yang bersifat normative selalu ada dalam
kehidupan masyarakat. Terbentuknya masyarakat yang tertib berdasarkan norma dan
peraturan yang disepakati bersama baik itu yang tertulis maupun tidak, hal ini
tidak menjamin bahwa dalam masyarakat tersebut tidak ada konflik walau hanya
kecil atapun hanya bersifat potensial saja. Harus diingat bahwa dalam
masyarakat terdapat kenyataan-kenyatan sebagai berikut:
- Setiap
struktur sosial yang ada dalam masyarakat menganduk konflik beserta
kontrakdiksi-kontradiksi yang bersifat internal. Artinya hal ini akan
membawa struktus sosial dalam masyarakat akan mengalami perubahan sosial
dengan asumsi bahwa perubahan ini dibarengi oleh konflik.
- Munculnya
reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar dengan
kemungkinan reaksi yang muncul tidak selalu bersifat adjustive
- Suatu
sistem sosial dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bisa
memakan waktu lama.
- Perubahan
sosial datang tidak selalu bertahap sedikit demiki sedikit melalui
penyesuaian yang halus, akan tetapi bisa secara mendadak dan revolusioner.[1]
Pandangan di
atas berbeda dengan pandangan dari pendekatan konflik, dalam pendekatan konflik
memiliki argumen dan teori tersendiri mengapa masyarakat memiliki potensi
memunculkan konflik. Adapun anggapan tersebut adalah sebagai berikut.
- Setiap
masyarakat merupakan bagian dari sebuah proses perubahan yang setiap saat
mengalami perubahan.
- Setipa
masyarakat memiliki potensi untuk memunculkan konflik ke permukaan yang
timbul dari dalam dirinya dimana konflik bisa meluas dan menimbulkan
perubahan yang tidak teratur.
- Setiap
masyarakat memiliki potensi memberikan percikan-percikan perpecahan berupa
disintegrasi
- Setiap
masyarakat yang terintegrasi memiliki potensi untuk dikendalikan oleh
kepentingan dan didominasi oleh sebagain golongan berkepentingan.
Morton Deutsch
(1973), berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya hubungan dalam
masyarakat yang saling bergantung satu dengan lainya (bersifat negatif).[2] Setiap
konflik dalam masyarakat memiliki dua dimensi sekaligus yaitu, dimensi
kooperatif dan dimensi kompetitif. Konflik dengan kadar kompetisi yang cukup
tinggi akan membawa dampak destruktif, sedangkan konflik dengan dimensi
kooperatif akan menimbulkana dampak konstruktif.
Pendirian,
kebudayaan, kepentingan, perubahan sosial, ketidakadilan, terkikisanya nilai
kebersamaan dan keharmonisan, juga merupakan faktor yang tidak kalah penting
sebagai penyebab konflik di masyarakat. Tidak kalah penting atau bahkan bisa
dikatakan sebagai faktor utama penyebab konflik adalah perasaaan. Perasaan
memegang peran penting dalam membawa masyarakat menuju konflik. Hal ini terjadi
karena perasaan membawa sesorang jatuh kedalam jurang perbedaan sehingga ada
rasa untuk menjatuhkan lawanya.
- Competition
(persaingan). Persaingan yang terjadi baik antar Individu ataupun antar
kelompok dimana ada ambisi dan kepentingan untuk mencari keuntungan dalam
bidang-bidang yang menjadi perhatian umum yang dimana merupakan pusat
persaingan dalam masyarakat. Persaingan yang terjadi baik antarindividu
maupun antara kelompok memiliki tujuan yang hampir mirip yaitu untuk
mencapai dominasi tertinggi. Pada akhirnya persaingan yang terjadi baik
individu maupun kelompok memunculkan persaingan dalam bidang peranan,
kebudayaan, politik, ekonomi, suku, maupun ras.
- Kontravensi.
Kontravensi berasal dari bahasa latin, contra
dan venie yang memiliki arti
menghalangi. Kontravensi merupakan usaha untuk menghalangi atau menentang
pihak tertentu. Bisa dikatakan bahwa individu atau kelompok yang bersaing
baik dengan individu mapun kelompok memiliki tujuan untuk menggagalkan
sainganya, hal ini terjadi kemungkinan karena ada unsur ketidaksuakaan
atau ketidaksepahaman.
No comments:
Post a Comment