Arus
utama penulisan kolonialisme di Indonesia masih ditulis dengan sudut pandang
Indonesian sentris atau sudut pandang penulisan sejarah berdasarkan bangsa
Indonesia. Sudut pandang Indonesian sentris masih menuliskan kalau kolonialisme
VOC dan Belanda adalah orang jahat biang keladi dari keterpurukan dan
penderitaan bangsa Indonesia. Disisi lain semua bangsa Indonesia termasuk para
bangsawan adalah orang baik yang tertindas.
Padahal
jika ditelusuri secara objektif sejarah kolonialisme di Indonesia sedikit
banyak berlangsung karena ketamakan dari para bangsawan feodalnya. Bangsawan feodal
yang bisa dikatakan mementingakan kekuasaanya menjadi celah masukanya
kolonialisme di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai literature sejarah pra
kolonial banyak yang menuliskan tentang konflik perebutan kekuasaan antar
bangsawan. Hal ini juga berlangsung ketika VOC datang berdagang, kemudian
konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk mendaptkan keuntungan yang besar.
Seperti
yang di ketahui bahwa kolonialisme awal di Indonesia bukan dilakukan langsung
oleh sebuah Negara, namun oleh pedagang (VOC). VOC yang merupakan pedagang
dengan hak khusus yang diterima oleh pemerintah Belanda dapat memiliki tentara
dan senjata jelaslah memanfaatkan konflik yang terjadi di berbagai daerah di
Indonesia untuk dapat masuk dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Apalagi
VOC memiliki persenjataan perang yang terbilang lebih cangih dan memiliki daya
hancur yang lebih kuat dibandingkan dengan senjata yang ada di kerajan-kerajaan
yang ada di Indonesia.
Keberpihakan
VOC juga tidak pandang bulu, selama pihak yang dibantu mau memenuhi syarat dan
memberikan keuntungan besarlah yang akan menjadi sekutu dan akan mendapatkan
bantuan ketentaran lengkap dengan persenjataannya. Bukti perjanjian antara VOC dan para bangsawan
feudal di Indonesia bisa dilihat di Corpus
Diplomaticum Neerlando-Indicum. Kemenagan perang tidak membuat kerajaan
semakin baik, yang ada kerajan-kerajaan di Indonesia mengalami kebangkrutan
karena harus membayar VOC dengan jumlah yang tidak sedikit.
Kebangkrutan
kerajan-kerajan memaksa mereka menyerahkan sebagian wilayah dan Bandar dagang
ke tangan VOC. Maulai dari sinilah VOC masuk kepemerintahan dan mulai ikut
campur dalam pemilihan raja. VOC yang notabennya adalah perusahaan dagang tidak
mau merugi dengan merubah sistem feodal yang ada. Alih-alih mengganti yang ada
VOC memanfaatkan pemerintah feodal untuk dijadikan pegawainya guna menarik
upeti dan hasil panen dari rakyat.
Mulai
dari sinilah persekutuan antara bangsawan feodal dan kolonial VOC terjalin dan
mulai memeras keringat dari rakyat untuk kepentingan mereka. Bangsawan tidak
melakukan perlawanan karena kehidupan dan kekuasan meraka masih aman, mereka tetap
bisa makan dan tidur enak dengan hasil dari upeti dari rakyat.
Kerjasma antara pemerintah
feodal dan kolonial VOC terus berlansung sekalipun VOC mengalami kebangkrutan.
Kebangkrutan VOC diakibatkan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) di tubuh pejabat-pejabat VOC. Kebangkrutan VOC tidak membuat praktek
kolonialisme dan kesengsaraan rakyat berhenti, bahkan bisa dikatakan
kesengsaraan rakyat semakin bertambah parah. Apalagi ketika Pemerintah Belanda
mengambil alih VOC yang telah bangkrut dan melakukan praktek kolonial yang
lebih kejam seperti pemberlakukan tanam paksa (mengganti tanaman pokok rakyat
ke tanaman komoditi yang laku di jual di pasar eropa).
Memang dalam
sejarah terdapat perlawanan terhadap VOC dan pemerintah kolonial
Hindia-Belanda, seperti perang Padri, ataupun perang Jawa. Namun perang
tersebut tidaklah massif, kebanyakan para bangsawan lebih memilih bersekutu
dengan pemerintah kolonial sehingga kekuasan feodalnya tetap aman dan bisa
hidup mewah.
Dapat
disimpulkan kalau kolonialisme di Indonesia tidaklah hitam putih Padahal jika
dilihat berdasarkan fakta yang ada sejarah kolonialisme tidak lah hitam putih
seperti kebanyakan dalam buku-buku sejarah dan cerita dari orang-orang tua.
pihak kolonialisme jahat (hitam) sedangakan bangsa Indonesia beserta bangsawan
feodalnya baik (putih). Jika hanya hitam putih saja kolonialisme di Indonesia
tidak akan bertahan lama, namun yang terjadi kolonialsime di Indonesia terjadi
begitu lama.
Sejarah
resmi dari pemerintah dan kebanyakan buku-buku sejarah masih menulis
berdasarkan sudut pandang Indonesian sentris, bahkan disekolah pun juga
demikian sejarah masih dinarasikan hitam putih (kolonial jahat sedang bangsa
Indonesia orang baik). Bukanya tidak ada sejarawan yang menulis keluar dari
Indonesian sentris atau anti mainstream, namun bisa dikatakan masih sangat
jarang. Jumlah yang sedikit tak jarang tidak begitu berpengaruh dampaknya
terhadap penulisan sejarah arus utama.
Menarasikan
sejarah kolonial hitam putih diangap oleh para penguasa Negara pasca kemerdekaan
sebagai cara untuk meningkatkan nasionalimse rakyat Indonesia. Namun yang perlu
menjadi catatan dan sebagai bahan refleksi adalah bangsa Indonesia terjajah dan
mengalami kolonialisme bukan karena jahatnya VOC dan Belanda. Namun karena
rakusnya elit penguasa yang rela menjual rakyatanya untuk kekuasaan dan
mementingkan kepentingan sendiri. Jika kita tidak menyadari bahwa kerusakan
Negara ini diakibatkan oleh rakyatnya sendiri terutama elit pengusanya maka
rasa nasonalisme akan percuma saja.
Sebagai
cacatan: sejarah haruslah diajarkan berdasrkan fakta yang ada agar generasi
muda tau kalau kehancuran bangsanya bukan karena bangsa lain, namun karena diri
sendiri yang menghamba untuk berkuasa, menimbun kekayaan untuk dirinya sendiri
tanpa memperdulikan nasib dari rakyatnya.
Daftar Pustaka
https://www.antaranews.com/berita/746700/sejarawan-ungkap-efek-kolonialisme-feodalisme-di-nusantara di akses pada 5 Mei 2020
No comments:
Post a Comment